Setelah raja Kertanegara gugur, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja
Kadiri Jayakatwang dan berakhirlah riwayat kerajaan Singhasari. Salah seorang
keturunan penguasa/bangsawan Singhasari yaitu Wijaya, kemusian berusaha untuk
dapat merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan raja Jayakatwang.
Beliau (Wijaya) adalah putera Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Campaka atau
Narasinghamurti. Jadi beliau masih keturunan Ken Angrok dan Ken Dedes secara
langsung. Dari sisi geneologinya, Wijaya masih keponakan raja Kertanegara,
bahkan beliau diambil sebagai menantu oleh raja Kertanegara serta dinikahkan
dengan puterinya. Sumber kesusasteraan yaitu Kitab Pararaton dan beberapa
Kidung lainnya menyebutkan bahwa beliau menikah dengan dua orang puteri raja,
sedang sumber prasasti dan Kakawin (kitab) Negarakertagama menyebutkan beliau
menikahi empat orang puteri raja Kertanegara (prasasti Sukamrta lempeng IIa
dan IIb).
Pada saat pasukan Jayakatwang dari Kadiri menyerang Singhasari, Wijaya
ditunjuk oleh raja Kertanegara untuk memimpin pasukan Singhasari melawan
pasukan Kadiri yang datang dari sebelah Utara. Kisah pertempuran antara pasukan
Wijaya melawan pasukan Kadiri dapat disarikan dari prasasti (piagam) Kudadu,
satu di antara sejumlah kecil prasasti yang memberikan cerita sejarah
secara panjang lebar dalam bagian samabandha-nya. Kisah pertempuran ini
terdapat pula dalam Kitab Pararaton, Kidung Harsa-Wijaya dan Kidung Panji
Wijayakrama dengan perbedaan dalam detil jika dibandingkan dengan keterangan
dalam prasasti Kudadu.
Prasasti Kudadu ini berangka tahun 1216 Saka (11 September 1294),
dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Wijaya) dalam rangka
memperingati pemberian anugerah kepada pejabat desa (rama) di Kudadu,
yang berupa penetapan desa Kudadu menjadi daerah swatantra. Dengan penetapan
ini, maka desa Kudadu tidak lagi merupakan tanah ansa bagi Sang Hyang
Dharmma di Kleme. Sebab muasal desa Kudadu memperoleh penghargaan/anugerah raja
ialah karena desa ini (Kudadu) telah berjasa memberikan perlindungan dan
bantuan bagi raja (Wijaya) pada saat beliau masih belum menjadi raja,
dan bernama kecil Nararyya Sanggramawijaya, pada waktu beliau
sampai di desa Kudadu karena dikejar musuh (Jayakatwang).
Baginda sampai mengalami kejadian demikian itu karena dahulu raja
Kertanegara yang telah wafat di alam Siwa-Buda (dicandikan di Singosari)
gugur karena serangan raja Jayakatwang (Jayakatyeng, Kitab Pararaton
menyebutnya dengan nama Aji Katong) dari Gelang-Gelang (Kadiri), yang berlaku
sebagai musuh, menjalankan hal yang amat tercela, menghianati sahabat dan
mengingkari janji, hendak membinasakan raja Kertanegara di Tumapel
(Singhasari).
Pada waktu pasukan Jayakatwang terdeteksi telah sampai di desa Jasun
Wungkal, Wijaya dan Sang Arddharaja (anak Jayakatwang yang telah dipercaya
oleh Kertanegara) diperintahkan oleh raja Kertanegara untuk menghadapinya.
Setelah Wijaya dan Arddharaja berangkat dari Tumapel (Singhasari) dan telah
sampai di desa Kedung Peluk, di situlah pertama kali pasukan Wijaya
bertemu dengan musuh, bertempurlah pasukan Wijaya dan musuh dapat dikalahkan,
serta melarikan diri dengan tidak terhitung jumlah pasukannya yang gugur.
Majulah pasukan Wijaya ke desa Lembah, tidak ada musuh yang dijumpai
karena semuanya telah mundur tanpa memberikan perlawanan. Pasukan Wijayapun
maju terus, melewati Batang, dan sampai di desa Kapulungan. Di
sebelah Barat desa Kapulungan itulah pasukan Wijaya bertemu dan bertempur
kembali dengan musuh, musuh dapat dikalahkan, melarikan diri dengan menderita
banyak kerusakan. Pasukan Wijaya bergerak maju terus dan sampai di desa Rabut
Carat. Dan ketika sedang beristirahat datanglah musuh dari sebelah Barat,
maka berperanglah pasukan Wijaya dengan mengerahkan kekuatan penuh, musuh dapat
dikalahkan serta melarikan diri dengan kehilangan banyak anggota pasukan.
Sepertinya musuh telah habis dan mengundurkan diri. Tetapi pada saat yang
bersamaan terlihatlah panji-panji musuh berkibaran di sebelah Timur desa Haniru,
merah dan putih warnanya (' .... ring samangkana, hana ta tunggulning
satru layu-layu katon wetaning Haniru, bang lawan putih warnnanya ...,'
Prof. M. Yamin menafsirkan panji-panji pasukan Kadiri itu berwarna
merah-putih). Melihat panji-panji itu bubarlah pasukan Sang Arddharaja,
melakukan penghianatan, lari tanpa sebab menuju ke Kapulungan, itulah
permulaan rusaknya pasukan Wijaya.
Kesimpulan : rusaknya pasukan Wijaya adalah karena sebab
penghianatan yang dilakukan oleh Sang Arddharaja yang sebenarnya adalah anak
dari Jayakatwang (musuh Singhasari/Wijaya).
Bhre Wijaya
sangat taat kepada Sri Kertanegara, itulah sebabnya beliau tetap bertahan di Rabut
Carat. Tetapi akhirnya beliau harus mundur ke Utara desa Pamwatan Apajeg,
di seberang Utara sungai. Pasukan beliau pada waktu itu berkekuatan kira-kira
enam ratus orang banyaknya. Keesokan harinya datanglah musung mengejar Wijaya,
beliau berbalik menghadapi musuh yang datang. Tetapi jumlah pasukan Wijaya makin
sedikit, banyak yang lari menyelamatkan diri dan meninggalkan beliau. Takutlah
Wijaya kalau-kalau sampai kehabisan anak buah, lalu berunding dengan para
pengikutnya. Wijaya bermaksud hendak pergi ke Terung, berbicara dengan
akuwu di Terung yang bernama Rakryan Wuru Agraja (yang diangkat sebagai akuwu
oleh Raja Kertanegara) sekaligus meminta bala bantuan dengan mengerahkan rakyat
sebelah Timur dan Timur Laut Terung. Bersuka citalah pengikut-pengikut Wijaya
mendengar keputusan tersebut.
Pada malam hari bergeraklah Wijaya hendak melalui Kulawan karena
takut dikejar musuh yang amat banyak jumlahnya itu. Setibanya di Kulawan
bertemu dengan musuh, sehingga harus mengungsi ke daerah Kembang Sri. Tetapi
begitu sampai di Kembang Sri, Wijaya bertemu musuh kembali dan harus lari ke
Utara menyeberangi sungai dengan segenap pasukannya yang masih tertinggal.
Banyak anggota pasukan Wijaya yang gugur, yang masih hidup lari tercerai berai
tidak diketahui kemana tujuannya, akhirnya tinggal dua belas orang saja yang
melindungi Wijaya.
Waktu fajar menyingsing, Wijaya sampailah di desa Kudadu dalam
keadaan lapar, lelah dan letih, sedih dan beriba hati, tiada harapan untuk
hidup. Amat besarlah malapetaka dan kesedihan yang menimpa Wijaya. Tetapi
begitu sampai di depan pejabat desa Kudadu, Wijaya diterima dengan
sungguh-sungguh dan penuh hormat, terbukti dengan dikeluarkannya persembahan
berupa makanan, minuman dan nasi. Lalu pejabat desa Kudadu itu menyembunyikan
Wijaya sehingga tidak sampai dapat ditemukan oleh musuhnya. Akhirnya
ditunjukkanlah jalan sampai batas daerah perdikan Rembang, Wijaya
bermaksud hendak mengungsi ke Madura.
Prasasti lain yang juga menyinggung kisah pelarian Wijaya tetapi amat
singkat adalah prasasti Sukamrta yang berangka tahun 1218 Saka (29
Oktober 1296). Prasasti ini memperingati penetapan daerah Sukamrta kembali
menjadi daerah swatantra atas permohonan Panji Patipati Pu Kapat, yang hendak
menirukan perbuatan ayahnya Panji Patipati (sr.). Permohonan ini dikabulkan
oleh raja Kertarajasa Jayawarddhana karena Panji Patipati Pu Kapat telah
memperlihatkan kesetiaan dan kebaktiannya yang luar biasa kepada raja, dengan
ikut mengalami duka nestapa. Pada waktu raja Kertanegara meninggal ia masih
muda belia. Pada waktu itu ia harus mengungsi, melarikan diri dari kejaran
musuh, masuk hutan, naik turun gunung, menyeberangi sungai dan laut. Panji
Patipati tidak berpisah dari sisi Wijaya, menjalankan segala perintah, di kala
hujan membawakan payung, di kala gelap membawakan obor. Dan pada waktu Wijaya
menyerang negeri penjahat yang telah menghianati raja Kertanegara, Panji
Patipati ikut pula di dalamnya.
Itulah sepenggal kisah tersesatnya Wijaya sampai ke desa Kudadu seperti
yang terdapat pada bagian sambandha prasasti Kudadu.
Di dalam prasasti Sukamrta itu disebutkan juga bahwa Wijaya menyeberangi
lautan, tentunya yang dimaksud di situ adalah kepergiannya ke Madura
seperti disebutkan dalam piagam Kudadu. Di Madura, Wijaya diterima oleh Aryya
Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar Wijata dapat diterima menyerahkan
diri kepada Jayakatwang di Kadiri. Wijaya akhirnya mendapat kepercayaan penuh
dari raja Jayakatwang, sehingga permintaan Wijaya untuk membuka daerah hutan
Terik dengan alasan akan dijadikan pertahanan terdepan dalam menghadapi musuh
yang menyerang melalui sungai Brantas inipun akhirnya dikabulkan oleh
Jayakatwang. Daerah Terik dibuka oleh Wijaya dengan bantuan dari Wiraraja
menjadi sebuah desa kecil dengan nama Majapahit. Di Majapahit yang baru dibuka
ini Wijaya berusaha untuk mengambil hati para penduduknya, terutama orang-orang
yang datang dari Tumapel dan Daha.
Diam-diam Wijaya memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat untuk
menyerang Kadiri. Di Madura adipati Wiraraja sudah bersiap-siap pula dengan
orang-orangnya untuk datang membantu ke Majapahit. Bertepatan dengan selesainya
persiapan-persiapan untuk mengadakan perlawanan terhadap Jayakatwang, pada awal
tahun 1293 datanglah bala tentara Khubilai Khan (Tartar) yang sebenarnya
dikirim untuk menyerang Singhasari, menyambut tantangan Kertanegara yang telah
menganiaya utusannya (Meng-Ch'i). Tentang peristiwa ini sumbernya
berasal dari catatan pemimpin armada tentara Mongol tersebut. Catatan itu
menyebutkan bahwa pada akhir tahun 1292 Kaisar Shih-Tsu (Khubilai Khan)
memerintahkan tiga orang panglima perang yaitu Shihpi, Iheh-mi-shih dan Kau
Hsing untuk menghukum Jawa. Dengan armada angkatan laut yang besar mereka
bertolak dari Ch'uan-chou. Dalam bulan pertama tahun 1293 mereka telah sampai
di Pulau Belitung, di sana mereka itu merundingkan siasat yang akan dijalankan.
Iheh-mi-shih berangkat terlebih dahulu untuk menundukkan raja-raja kecil di
Jawa dengan jalan damai. Kedua orang panglima yang lain bertolak dengan induk
pasukan ke pulau Karimunjawa, dan dari sana ke Tuban (Tu-ping-tsu). Di
Tuban semua pasukan bertemu lagi lalu diaturlah siasat penyerbuah ke Daha.
Shih-pi dengan seperdua pasukan pergi dengan kapal ke Sedayu (sugalu),
dari sana ke muara kali Mas (pa-tsieh). Iheh-mi-shih dan Kau Hsing
memimpin pasukan darat berkuda menyerbu ke pedalaman.
Kedatangan pasukan Cina itu terdengar oleh Wijaya, karena peristiwa ini
merupakan kesempatan yang baik sekali bagi Wijaya. Maka ia mengirimkan utusan
kepada panglima pasukan Cina, membawa pesan bahwa ia bersedia tunduk di bawah
kekuasaan kaisar, dan mau menggabungkan diri dengan pasukan Cina untuk
menggempur Daha. Penyerahan Wijaya ini diterima dengan senang hati oleh
panglima pasukan Cina.
Pada permulaan bulan yang ketiga semua pasukan Cina telah berkumpul di
muara kali Mas, di situ ada angkatan laut Daha yang selalu siap menghadapi
musuh dari luar. Maka pertempuranpun berkobarlah. Tentara Daha dapat dikalahkan
dan lari meninggalkan kapal-kapalnya. Lebih dari 100 buah kapal yang besar
telah jatuh ke tangan pasukan Cina. Sebagian pasukan Cina diperintahkan untuk
berjaga-jaga di muara kali Mas, sedang sebagian yang lain menyerbu ke Daha.
Tetapi sebelum mereka dapat bertolak ke pedalaman, datanglah utusan dari Wijaya
memberitahukan bahwa ia akan diserang oleh pasukan Daha, dan minta bantuan pasukan.
Iheh-mi-shih diperintahkan untuk membantunya. Dengan pasukannya ia menuju
Canggu, sedang Kau Hsing langsung pergi ke Majapahit.
Pada tanggal 7 bulan ketiga, pasukan Daha menyerbu Majapahit dari tiga
jurusan, tetapi dapat dihalaukan oleh pasukan Cina. Pada tanggal 15 bulan
ketiga, barulah pasukan Cina itu menyerbu Daha. Sebagian pasukan naik perahu
menghulu sungai Brantas. Iheh-mi-shih dengan sebagian pasukan lagi menyerbu
dari arah Timur, sedang Kau Hsing menyerbu dari arah Barat. Wijaya dengan
pasukannya mengikuti dari belakang pasukan Cina.
Pada tanggal 19 mereka sampai di depan pintu gerbang kota Daha, Jayakatwang
telah siap menghadapi musuh dengan pasukan yang terdiri dari 100.000 orang (jumlah
ini tidak dapat dipastikan, sejarah Dinasti Sung 960-1279 S menyebutkan bahwa
raja She-p'o mempunyai tentara sebanyak 30.000 orang). Tentara Cina
menyerbu dalam tiga gelombang, maka pertempuranpun berkobar dengan dahsyat dari
jam enam pagi hingga jam dua siang. Akhirnya pasukan Jayakatwang mundur masuk
ke dalam kota dengan meninggalkan 5.000 orang yang gugur. Segera kota dikepung
oleh pasukan Cina, dan pada sore harinya Jayakatwang keluar menyerahkan diri.
Ia ditawan bersama dengan seratus orang anggota keluarga dan pejabat-pejabat
tinggi kerajaan (menurut Kitab Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama -pupuh
VII-, raja Jayakatwang kemudian dibawa oleh panglima tentara Cina ke benteng
pertahanan mereka di Hujung Galuh dan ditawan di sana. Di dalam penjara raja
Jayakatwang sempat menggubah sebuah kakawin yang diberi nama Wukir Polaman, dan
sesudahnya ia meninggal). Anak Jayakatwang, yang dalam berita Cina disebut
Hsi-la-pati Hsi-la-tan-pu-ho melarikan diri ke pegunungan, tetapi ia dapat
dikejar dan ditangkap oleh Kau Hsing, dan dibawa ke Daha sebagai tawanan.
Setibanya Kau Hsing kembali di daha, ia tidak mendapatkan Wijaya di sana,
karena oleh Shih-pi dan Iheh-mi-shih Wijaya diperkenankan kembali ke Majapahit
untuk mempersiapkan upeti yang akan dipersembahkan kepada kaisar Cina. Ia
dikawal oleh dua orang opsir dan 200 tentara Cina. Akan tetapi dengan tipu
muslihat, Wijaya dapat membunuh kedua orang opsir Cina tersebut serta menyerang
pengawal-pengawalnya itu di tengah jalan. Kemudian Wijaya dan pasukannya
menyerang pasukan Cina yang ada di Daha dan Canggu. Meskipun pasukan Cina itu
memberikan perlawanan yang kuat, namun lebih dari 3.000 orang dapat dibinasakan
oleh pasukan Wijaya. Sisa pasukan Cina kemudian terpaksa lari meninggalkan
pulau Jawa dengan banyak kehilangan anggota pasukannya (tentara Cina itu
meninggalkan pulau Jawa pada tanggal 31 Mei 1293 M -sumber G.Coedes, The
Indianized States of Shouteast Asia, Oxford, 1968, hal. 200-).
Demikianlah, maka dengan kedatangan tentara Khubilai Khan, tercapailah apa
yang dicita-citakan oleh Wijaya, yaitu runtuhnya Daha. Setelah Wijaya berhasil
mengusir tentara Mongol itu, maka ia menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit.
Menurut kidung Harsa Wijaya penobatannya itu terjadi pada tanggal 15 bulan
Karttika (ri purneng karttikamasa pancadasi) tahun 1215 saka (12
Nopember 1293 M). Nama gelar penobatannya adalah Sri Kertarajasa
Jayawarddhana.
Arti dari pada nama gelar tersebut (disebutkan dalam prasasti tahun
1305, bagian kedua) adalah kerta berarti beliau memperbaiki
pulau Jawa dari kekacauan yang ditimbulkan oleh penjahat-penjahat dan
menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, rajasa berarti beliau
berjaya mengubah suasana gelap menjadi suasana terang-benderang karena
kemenangan atas musuh-musuhnya, jaya mengandung arti beliau
mempunyai lambang kemenangan berupa senjata tombak berujung mata-tiga
(trisula-muka), dan warddhana mengandung arti beliau menghidupkan
segala agama, melipat-gandakan hasil bumi terutama padi demi kesejahteraan
rakyat
Sumber : wong jawa